Rabu, 30 Desember 2015

Sewa tanah

1.     Teori sewa tanah David Ricardo
Dalam teori sewa tanah, David Ricardo mengatakan bahwa jenis tanah berbeda-beda. Produktivitas tanah yang subur lebih tinggi, berarti untuk menghasilkan satu satuan unit produksi diperlukan biaya rata-rata dan biaya marjinal yang lebih rendah. Makin rendah tingkat kesuburan, maka makin tinggi pula biaya-biaya untuk mengolah tanah dan dengan sendirinya keuntungan per hektar tanah semakin kecil pula. Jadi sewa tanah yang lebih subur lebih tinggi dibanding sewa tanah yang kurang subur.
2.      Teori sewa tanah dari Von Thunen
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhjRtEmAppWnnIeDUDFWjVdHH4cQunwJhBXwUOJOHUTTiOnSC4Ejgxc9e3zJYYhyfRUrj0gR1yELX4m4YXzVdGPJSSkygj3va5VTbGhmNe2r4pm3wJGi6UHuvREdzDen-UgnbkDUNzv7ivO/s1600/NO+9.png
Von Thunen (1826) hanya menambah kekurangan teori sewa tanah David Ricardo yaitu mengenai jarak tanah dari pasar. Apakah tanah subur yang jaraknya dekat dengan pasar dan yang jauh dari pasar akan sama sewanya? Hal ini setelah dikaji ternyata beda karena semakin jauh dari pasar semakin mahal biaya transportasinya.
Ada beberapa hal yang mempengaruhi sewa tanah:
a)    Kualitas tanah yang disebabkan oleh kesuburan tanah, pengairan, adanya fasilitas listrik, jalan dan sarana lainnya;
b)   Letaknya strategis untuk perusahaan/industri; dan
c)    Banyaknya permintaan tanah yang ditujukan untuk pabrik, bangunan rumah, perkebunan.
Von  Thunen juga mengidentifikasi  tentang  perbedaan  lokasi  dari  berbagai kegiatan  pertanian  atas  dasar  perbedaan  sewa  lahan  (pertimbangan  ekonomi). Menurut Von Thunen tingkat sewa lahan adalah paling mahal di pusat pasar dan makin rendah apabila makin jauh dari pasar. Von Thunen menentukan hubungan sewa  lahan  dengan  jarak  ke  pasar  dengan  menggunakan  kurva  permintaan.
Berdasarkan  perbandingan  (selisih)  antara  harga  jual  dengan  biaya  produksi, masing-masing  jenis  produksi  memiliki  kemampuan  yang  berbeda  untuk membayar  sewa  lahan.  Makin  tinggi  kemampuannya  untuk  membayar  sewa lahan, makin  besar  kemungkinan  kegiatan  itu  berlokasi  dekat  ke  pusat  pasar.
Dalam model tersebut, Von Thunen membuat asumsi sebagai berikut :
a)    Wilayah analisis bersifat terisolir sehingga tidak terdapat pengaruh pasar dari kota lain;
b)   Tipe permukiman adalah padat di pusat wilayah dan semakin kurang padat apabila menjauh dari pusat wilayah;
c)    Seluruh wilayah model memiliki iklim, tanah dan topografi yang seragam;
d)   Fasilitas pengengkutan adalah primitive (sesuai dengan zaman-nya) dan relative seragam. Ongkos ditentukan oleh berat barang yang dibawa; dan
e)    Kecuapi perbedaan jarak ke pasar semua factor alamiah yang mempengaruhi penggunaan tanah adalah konstan

PUSAT PINGGIRAN

Pusat dan Pinggiran

http://www.gmtproperty.com/img/1650322MilleniaSingapore780x390_1.jpgSalah satu persoalan yang timbul dari penggunaan konsep ‘pusat’ dan ‘pinggiran’, adalah masalah relasi kedua konsep tersebut. Di sini juga terjadi kontradiksi dimana ibukota menyedot surplus ekonomi daerah-daerah  dan menggunakannya untuk kepentingan pembangunan ekonomi ibu kota itu sendiri. Muncullah ungkapan pembangunan keterbelakangan.
Model pinggiran pusat-pinggiran ini juga telah diterapkan di bidang-bidang lain, mulai dari bidang politik hingga bidang kebudayaan. Beberapa ilmuwan politik yang salah satunya, Stein Rokkan, menawarkan tentang tipologi tentang berbagai hubungan yang mungkin antara pusat territorial dan daerah pinggiran. Keindahan intelektual dari analisis, dalam arti dua konsep yang bertentangan namun saling melengkapi memang sangat menggoda.
Penggunaan konsep-konsep tersebut tentu mendorong adanya upaya untuk mencari gugus penyelidikan sejarah yang bermanfaat namun relative terabaikan. Sejarawan terbiasa mengkaji proses sentralisasi (pemusatan), tetapi mereka hampir tidak pernah mau menyelidiki proses peminggiran. Masalah lain muncul dari kenyataan bahwa sejumlah analisis, missal analisis Rokkan, menyiratkan adanya pandangan tentang masyarakat yang menekankan pada keseimbangan, sedangkan analisis Wallerstein lebih menekankan pada konflik.
Dengan adanya konsep pusat-pinggiran, maka muncul “Kontrol social” yang artinya konsep tradisional sosiologi yang menggambarkan tentang kekuasaan yang diterapkan masyarakat atas individu-individu melalui hokum, pendidikan, agama dan lain-lain. Terhadap analisis ini mungkin ada baiknya memperkenalkan dua konsep, yaitu kekerasan simbolis dan negosiasi. Konsep kekerasan simbolis merujuk kepada pemberlakuan budaya kelas penguasa atas kelompok yang dikuasai. Negosiasi sejak mulanya dan secara harfiah untuk menganalisis tawar-menawar bayaran antara pengacara dank lien, telah diadaptasi secara luas untuk proses imbal beri antara dokter dan pasien atau antara pihak elite dan kelompok yang diperintah.
Penentangan (resistensi) sehari-hari berubah menjadi perlawanan terbuka atau semacam gerakan sosial. Gerakan-gerakan ini pada dasarnya berubah-ubah dan informal sifatnya dan bercirikan komunitas. Gerakan sosial juga terbagi menjadi dua tipe gerakan sosial, yakni apakah gerakan itu pada dasarnya untuk memulai suatu proses perubahan atau gerakan tersebut merupakan reaksi atas perubahan yang sedang terjadi.

TEORI SEKTORAL

TEORI HOYT  (1939)

Teori Sektoral
Teori ini menyatakan bahwa DPK atau CBD memiliki pengertian yang sama dengan yang diungkapkan oleh Teori Konsentris.
  1. Sektor pusat kegiatan bisnis yang terdiri atas bangunan-bangunan kontor, hotel, bank, bioskop, pasar, dan pusat perbelanjaan.
  2. Sektor kawasan industri ringan dan perdagangan.
  3. Sektor kaum buruh atau kaum murba, yaitu kawasan permukiman kaum buruh.
  4. Sektor permukiman kaum menengah atau sektor madya wisma.
  5. Sektor permukiman adi wisma, yaitu kawasan tempat tinggal golongan atas yang terdiri dari para eksekutif dan pejabat

    menurut Hoyt berasumsi bahwa perkembangan kota tidak berbentuk melingkar seperti teori konsentris Burgess, akan tetapi berkembang menurut sektor tertentu seperti irisan kue. Perkembangan daerah kota dipengaruhi oleh kondisi geografis wilayah itu sendiri. 


    CBD (Cenral Bussines District)
    Merupakan Pusat Daerah Kegiatan yang merupakan inti kota.
    Industry
    Industri mengikuti aliran sungai, jalur kereta api, jalan raya. Pekerja kelas bawah bekerja di daerah ini memproduksi barang kebutuhan kota.
    Low Class Residential
    Merupakan pemukiman pekerja kelas bawah, dekat dengan lokasi pabrik untuk mengurangi biaya transport. Tingkat polusi di daerah ini sangat tinggi dan lingkungan yang buruk karena pengaruh pabrik.
    Middle Class Residental
    Merupakan zona pemukiman terluas, dihuni pekerja dengan taraf ekonomi menengah. Kondisi lingkukngan lebih baik karena agak jauh dari daerah pabrik.
    High Class Residental
    Merupakan zona pemukiman kelas atas, kondisi lingkungan sangat baik dan sarana transportasi sangat nyaman tanpa kemacetan. Akses menuju pusat kota sangat lancar.
    Contoh :
    Kota Newcastle
    Newcastle merupakan kota terbesar kedua di New South Wales dan kota tertua kedua di Australia. Kota ini berjarak sekitar 162 km dari Sydney dan terkenal sebagai penghasil batu bara yang memiliki pelabuhan ekspor batu bara terbesar di dunia. Berkunjung ke kota ini, Anda akan menemukan berbagai persembahan menarik dari kota yang terletak di mulut Sungai Hunter ini. Pada awalnya, wilayah Newcastle merupakan tempat tinggal bagi suku Awabakal dan Worimi yang merupakan bagian dari Suku Aborigin, hingga pada bulan September 1797 Letnan John Shortland merupakan orang Eropa pertama yang merambah kawasan Newcastle dan menemukan batubara yang melimpah. Kemudian pada tahun 1801 didirikan sebuah tempat yang digunakan untuk menambang batubara yang diberi nama King’s Town. Pada tahun yang sama, pengiriman batubara ke Sydney pertama kali dilakukan. Namun tidak sampai satu tahun berdiri, tempat ini ditutup dan dibuka kembali pada tahun 1804 dan diberi nama Coal River, namun juga tetap masih dikenal dengan nama Kingstown hingga akhirnya berganti nama menjadi Newcastle yang diambil dari nama pelabuhan batu bara terkenal di Inggris.
    Hasil gambar untuk gambar kota di inggris

    Hasil gambar untuk gambar kota di inggris

    Hasil gambar untuk gambar kota di inggris

                                                   KOTA INGGRIS

    Perbedaan Teori Konsentris dan Teori Sektor
    Perbedaan diantara keduanya terletak pada pembagian zona wilayah, yang mana didalam teori konsentris dibagi menjadi 6 zona sedangkan di dalam teori sektor dibagi menjadi 5 zona, berikut pembagiannya:


       1. Teori Konsentris
    ·         Zona 1: Daerah Pusat Bisnis
    Zona ini terdiri dari 2 bagian, yaitu: (1) Bagian paling inti disebut RBD (Retail Business District). Merupakan daerahpaling dekat dengan pusat kota. Di daerah ini terdapat toko, hotel, restoran, gedung, bioskop dan sebagainya. Bagian di luarnya disebut sebagai WBD (Wholesale Business District) yang ditempati oleh bangunan yang diperuntukkan kegiatan ekonomi dalam jumlah yang lebih besar antara lain seperti pasar, pergudangan dan gedung penyimpan barang supaya tahan lebih lama.

    ·         Zona 2 : Daerah Transisi
    Adalah daerah yang mengitari pusat bisnis dan merupakan daerah yang mengalami penurunan kualitas lingkungan pemukiman yang terus menerus. Daerah ini banyak dihuni oleh lapisan bawah atau mereka yang berpenghasilan rendah.

    ·         Zona 3 : Daerah pemukiman para pekerja
    Zona ini banyak ditempati oleh perumahan pekerja-pekerja pabrik, industri. Kondisi pemukimanya sedikit lebih baik dibandingkan dengan daerh transisi. Para pekerja di sini berpenghasilan lumayan saja sehingga memungkinkan untuk hidup sedikit lebih baik.

    ·         Zona 4 : Daerah pemukiman yang lebih baik
    Daerah ini dihuni oleh kelas menengah yang terdiri dari orang-orang yang profesional, pemilik usaha/bisnis kecil-kecilan, manajer, para pegawai dan lain sebagainya. Fasilitas pemukiman terencana dengan baik sehingga kenyamanan tempat tinggal dapat dirasakan pada zona ini.

    ·         Zona 5 : Daerah para penglaju
    Merupakan daerah terluar dari suatu kota, di daerah ini bermunculan perkembangan permukiman baru yang berkualitas tinggi. Daerah ini pada siang hari boleh dikatakan kosong, karena orang-orangnya kebanyakan bekerja.
       2. Teori Sektor
    ·         Zona 1: Daerah Pusat Bisnis
    Deskripsi anatomisnya sama dengan zona 1 dalam teori konsentris, merupakan pusat kota dan pusat bisnis.

    ·         Zona 2: Daerah Industri Kecil dan Perdagangan
    Terdiri dari kegiatan pabrik ringan, terletak diujung  kota dan jauh dari kota menjari ke arah luar. Persebaran zona ini dipengaruhi oleh peranan jalur transportasi dan komunikasi yang berfungsi menghubungkan zona ini dengan pusat bisnis.

    ·         Zona 3: Daerah pemukiman kelas rendah
    Dihuni oleh penduduk yang mempunyai kemampuan ekonomi lemah. Sebagian zona ini membentuk persebaran yang memanjang di mana biasanya sangat dipengaruhi oleh adanya rute transportasi dan komunikasi. Walaupun begitu faktor penentu langsung terhadap persebaran pada zona ini bukanlah jalur transportasi dan komunikasi melainkan keberadaan pabrik-pabrik dan industri-industri yang memberikan harapan banyaknya lapangan pekerjaan.

    ·         Zona 4: Daerah pemukiman kelas menengah
    Kemapanan Ekonomi penghuni yang berasal dari zona 3 memungkinkanya tidak perlu lagi bertempat tinggal dekat dengan tempat kerja. Golongan ini dalam taraf kondisi kemampuan ekonomi yang menanjak dan semakin baik.

    ·         Zona 5: Daerah pemukiman kelas tinggi
    Daerah ini dihuni penduduk dengan penghasilan yang tinggi. Kelompok ini disebut sebagai “status seekers”, yaitu orang-orang yang sangat kuat status ekonominya dan berusaha mencari pengakuan orang lain dalam hal ketinggian status sosialnya

    sumber
    https://id.wikipedia.org/wiki/Kota
    http://geograph88.blogspot.co.id/2013/05/teori-sektoral-hummer-hoyt.html

Teori KOTA "PIE"




Teori Livable City


Livable City merupakan sebuah istilah yang menggambarkan sebuah lingkungan dan suasana kota yang nyaman sebagai tempat tinggal dan sebagai tempat untuk beraktivitas yang dilihat dari berbagai aspek baik aspek fisik (fasilitas perkotaan, prasarana, tata ruang, dll) maupun aspek non-fisik (hubungan sosial, aktivitas ekonomi, dll).






Beberapa definisi Livable City diantaranya :


“The coin of livability has two faces : Livehood is one of them, ecological sustainability is the other”


(P.Evans,ed 2002. Livable Cities ? Urban Struggles for Livelihood and Sustainability)






“A Livable city is a city where I can have ahealthy life and where I have the chance for easy mobility… The liveable city is a city for all people”


(D.Hahlweg,1997. The City as a Family)






Beberapa institusi telah mengadakan beberapa penilaian mengenai Livable City ini, diantaranya adalah :


a. Americas Most Livable Communities, yang menilai tingkat kenyamanan hidup kota-kota di Amerika Serikat.


b. Urban Construction Management Company, UCMC – IBRD (World Bank), yang menilai tingkat sustanabiliy kota-kota di dunia.


c. International Center For Sustainable Cities, Vancouver Working Group Discussion, yang menilai tingkat kenyamanan hidup kota-kota di Kanada.






Dari beberapa event penilaian mengenai Livable City, prinsip-prinsip dari Livable City diantaranya :
Tersedianya berbagai kebutuhan dasar masyarakat perkotaan (hunian yang layak, air bersih, listrik)
Tersedianya berbagai fasilitas umum dan fasilitas sosial (transportasi publik, taman kota, fasilitas ibadah/kesehatan/ibadah)
Tersedianya ruang dan tempat publik untuk bersosialisasi dan berinteraksi
Keamanan, Bebas dari rasa takut
Mendukung fungsi ekonomi, sosial dan budaya
Sanitasi lingkungan dan keindahan lingkungan fisik.


Most Livable City Index merupakan sebuah indeks yang menunjukkan tingkat kenyamanan warga kota untuk tinggal, menetap dan beraktivitas di suatu kota yang ditinjau dari berbagai aspek kehidupan kota. Dari indeks tersebut dapat diketahui tingkat kenyamanan warga kota terhadap kualitas kota tersebut. Dengan dilakukan dibeberapa kota, maka dapat diketahui tingkat kenyamanan tinggal di suatu kota.






Contoh:


Menilai perencanaan sebuah kota dapat dinilai dari bagaimana tingkat kenyamanan masyarakat yang mendiami kota tersebut, salah satunya adalah menggunakan kriteria livable city. Terdapat dua terminologi yang harus diketahui untuk menjawab pertanyaan tersebut, yaitu livability dan livable city.Livability dapat didefinisikan secara sederhana sebagai “quality of life”, yaitu semua yang bersifat baik yang dirasakan oleh masyarakat selama mendiami kota tempat tinggalnya, baik secara personal maupun sebagai anggota dari masyarakat kota, sedangkan livable city adalah kota sebagai tempat hidup masyarakat yang dapat memenuhi rasa baik tersebut dan sedikit memiliki (bahkan melawan) hal buruk yang mengancam rasa nyaman masyarakatnya, baik secara fisik, sosial, dan mental. Livable city menggambarkan lingkungan dan sebuah kota yang nyaman untuk bertempat tinggal dan bekerja, dilihat dari berbagai aspek baik secara fisik (fasilitas perkotaan, prasarana, tata ruang, dll.) maupun secara non-fisik (interaksi sosial, aktivitas ekonomi, dll.).



Kota bukanlah “benda mati” melainkan terus berkembang, sama seperti manusia, sehingga untuk melihat sebuah livable city dapat dianalogikan komponen-kompnen kota seperti manusia. Pertama, komponen pemerintahan dan partisipasi masyarakat, pengendalian, pembentukan, dan pembelajaran sebagai otak dan saraf yang menggerakkan perangkat / sistem kota. Kedua, komponen nilai-nilai dan identitas masyarakat dan fisik kota sebagai jantung yang menghidupkan kota. Ketiga, komponen komunitas yang beragam, sarana di pusat kota, kawasan industri, dan ruang terbuka hijau sebagai organ yang mengisi kelengkapan kota. Terakhir, komponen prasarana (air, jalur hijau, listrik, komunikasi, transportasi) sebagai sistem sirkulasi yang memperlancar keberjalanan seluruh sistem di kota. Sebuah livable city harus dapat menghidupkan keseluruhan komponen tersebut.





Dalam penerapannya di Indonesia, survei yang dilakukan IAP seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, telah terlebih dahulu menentukan kriteria berupa 9 aspek dan 25 indikator penilaian livable city dari 15 kota besar di Indonesia. Kriteria yang digunakan dalam survei tersebut didasarkan pada hasil Simposium Nasional : Masa Depan Kota Metropolitan Indonesia yang diadakan di Medan, 4 Desember 2008, dan dirumuskan melalui pendekatan : ”Snapshot, Simple and Actual”, sehingga diketahui bahwa rata-rata indeks kenyamanan kota-kota di Indonesia adalah 54,17% pada tahun 2009 dan 54,26% pada tahun 2011. Kota Yogyakarta seperti yang telah dikatakan sebelumnya, merupakan kota yang memiliki indeks kenyamanan tertinggi di Indonesia dengan persentase 65,34 % (2009) dan 66,52% (2011). Namun, angka total yang begitu kecil ini menunjukkan bahwa kota-kota di Indonesia masih jauh dari kondisi ideal yang dirasa nyaman oleh masyarakat yang mendiaminya.

CONTOH KOTA YANG MENERAPKAN TEORI INI :
KOTA YOGYAKARTA 1. Aspek penataan kota : Aspek penatan kota dinilai berdasarkan kualitasnya dalam mendukung aktivitas kota. Kota Yogyakarta, pusat pemerintahan Kesultanan Nyayogyakarta Hadiningrat sebagai salah satu kota tradisional di Pulau Jawa dirancang berdasarkan Teori Kosmis dimana terdapat pusat kosmis dan seremonial yaitu kraton, alun-alun, dengan perangkat kotanya yang memiliki axis ke arah utara (Gunung Merapi) dan selatan (Pantai Selatan). Secara umum kota ini sudah dirancang dengan baik mempertimbangkan alam sekitarnya. Dalam perkembangannya, dengan adanya modernisasi, namun masyarakat tetap mempertahankan bentuk kota seperti itu karena merasa sakral dengan tradisi yang ada, sehingga sekitar 50% masyarakat merasa nyaman dengan kondisi tersebut.









2. Aspek fisik lingkungan : Perkembangan perkotaan membuat polusi dan pencemaran menjadi kelemahan dari Kota Yogyakarta, sama seperti kota-kota lainnya. Namun yang berbeda adalah, usaha menjaga kebersihan lingkungan dalam kota tersebut, yang tentu dipengaruhi oleh budaya yang kental di masyarakat membuat aspek ini memiliki nilai yang tinggi.


3. Aspek keamanan dan keselamatan : Hampir sama dengan kota-kota lainnya yang bukan merupakan kota metropolitan, Kota Yogyakarta masih memberikan kenyamanan atas keamanan dan keselamatan warganya karena masyarakat yang berbudaya dan perangkat yang bekerja dengan baik membuat tingkat kriminalitas yang tidak tinggi.


4. Aspek ekonomi : Karena masyarakatnya yang secara budaya tidak keras dan menuntut, sekalipun memiliki persepsi yang rendah pada ketersediaan lapangan pekerjaan (29%), namun kota ini masih dinilai cukup secara aspek ekonomi karena diimbangi dengan persepsi masyarakat atas keterjangkauan tempat kerja dan biaya hidup.


5. Aspek sosial budaya : Interaksi sosial serta nilai sejarah dan budaya yang dijaga di Kota Yogyakarta membuat nilai aspek ini termasuk tertinggi dibanding kota-kota lainnya (73%). Budaya yang mendarah daging sebagai kearifan lokal, sistem pelayanan yang baik, serta keberadaan keraton sebagai institusi pimpinan budaya di Yogyakarta yang sangat dihormati oleh masyarakat membuat kota ini begitu nyaman secara sosial-budaya. Bahkan aset-aset budaya dan sejarah dapat dimanfaatkan sebagai lokasi wisata yang sangat menguntungkan dan nyaman. Tak hanya itu, tetapi juga ada kawasan wisata lain seperti wisata alam.







6. Aspek transportasi : Kondisi kuantitas infrastruktur transportasi di Yogyakarta sudahlah baik, khususnya setelah disediakan Trans Jogja yang melengkapi moda transportasi tradisional yang ada di Yogyakarta. Tingkat kemacetan di kota ini pun tidak tinggi. Namun secara kualitas masih perlu diperbaiki karena masih kurang terjaga sehingga berpengaruh pada kenyamanan berkendara di Yogyakarta.









7. Aspek utilitas publik : Sama seperti kota-kota lainnya kualitas dan kuantitas utilitas publik di Yogyakarta terbilang sudah sangat baik. Pengelolaannya pun terbilang dan tidak ada kekurangan.


8. Aspek kesehatan : Keberadaan RS Dr. Sardjito, RS Bethesda, dan sarana-sarana kesehatan lain sangat mendukung nilai indeks aspek kesehatan di Yogyakarta. Sama seperti kota-kota lainnya di Pulau Jawa, fasilitas di Kota Yogyakarta juga terbilang baik dan mencukupi.


9. Aspek pendidikan : Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota tujuan pendidikan di Indonesia sejak dulu dengan keberadaan banyak perguruan tinggi yang salah satunya adalah Universitas Gajah Mada (UGM). Letaknya yang strategis menjadi tujuan perantauan dari daerah-daerah di Indonesia bagian Barat hingga Indonesia bagian Timur, bahkan mendapatkan sebutan sebagai Kota Pelajar. Biaya pendidikan pun tidak tinggi dan terjangkau untuk seluruh kalangan. Hal ini membuat indeks aspek pendidikan kota Yogyakarta menjadi yang tertinggi di Indonesia (98%).









Mempertahankan Livability di Yogyakarta


Sekalipun menjadi kota dengan persepsi masyarakat akan kenyamanan kotanya yang tertinggi di Indonesia berdasarkan survei IAP, Kota Yogyakarta masih memiliki beberapa kekurangan yang memerlukan pengembangan untuk mendukungnya sebagai livable city. Seperti yang sudah disebutkan, kualitas infrastruktur meliputi sarana-prasarana transportasi dan utilitas umum lainnya perlu diperbaiki untuk mengoptimalkan fungsi kota bagi masyarakatnya. “Benturan” antara teknologi / budaya modern dengan budaya lokal juga perlu diperhatikan, seperti pengaruh jangka panjang dan pengelolaan bus Trans Jogja yang perlu dioptimalkan.



Kunci dari suksesnya Yogyakarta dalam membentuk suatu livable city bagi masyarakat yang mendiaminya dan juga para pendatang yang berkunjung adalah budaya. Budaya yang ditanamkan sejak lama dan mengakar dalam keseharian masyarakat dapat menjadi aliran yang baik untuk mendukung keberjalanan urat nadi Kota Yogyakarta. Bagaimana Kota Yogyakarta dapat mempertahankan daya livable city dari seluruh komponen kotanya? Lebih lanjut lagi, juga menjadi sustainable city / kota yang berkelanjutan secara ekonomi, sosial-budaya, dan lingkungan, tentu perlu didukung oleh semua pihak, terutama kepemimpinan daerah yang baik dan dukungan masyarakat. Hal yang sama seperti yang dikatakan Wakil Menteri Pekerjaan Umum, Hermanto Dardak bahwa begitu penting peranan pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kota, serta masyarakat yang mendiaminya untuk bersama-sama mewujudkan masa depan perkotaan Indonesia yang layak huni / livable city, termasuk di Kota Yogyakarta. Yah, semoga Kota Yogyakarta masih dapat mempertahankan kelestarian budayanya, meningkatkan kualitasnya, dan tetap menjadi salah satu livable city agar dapat menjadi contoh kota berwawasan budaya yang nyaman di Indonesia.



SUMBER


http://danimuttaqin.blogspot.co.id/2014/08/indonesia-most-livable-city-index.html


KOTA KOMPAK




KOTA KOMPAK

Kota kompak masih menjadi perdebatan terhadap keberlanjutan kota dewasa ini, keberlanjutan kota harus didukung oleh tiga klausa abadi yaitu lingkungan, sosial, ekonomi, yang ketiganya melekukakn integrasi dan interaksi secara padu dan menyatu sehingga membentuk bentukan kota kompak. Ketiga klausa harus melakukan integrasi adalah dengan membentuk sedemikian rupa seperti, lingkungan : menggunakan energy secara efisien, melakukan koservasi terhadap lingkungan sumber daya alam dan habitat, melakukan mitigasi terhadap lingkungan sehingga mengurangi resiko bencana. Sosial : melakukan penataan terhadap kualitas hidup yang baik serta melakukan pemertaaan sosial secara menyeluruh. Ekonomi : melakukan management terhadap potensi – potensi ekonomi local serta memenuhi kebutuhan akan lapangan pekerjaan. Dari keintegrasian ketiga hal tersebut membentuk sebuah interaksi yang mampu membangun kota secara kompak. Kota kompak memiliki beberapa kata kunci untuk menjawab kebutuhan akan keberlanjutan kota pada masa sekarang ini yaitu efisiensi, intensifikasi, konservasi, dan revitalisasi. Hal diatas muncul sebagai jawaban dari bentuk kota yang sprawl dan tidak berbentuk.






“Bentuk kota kompak sebagai jawaban terhadap kota sprawl (kota Kinabula)”


Berdasarkan bentuk kota kompak yang merupakan jawaban dari kota acak, bentuk kota kompak memiliki struktur yang jelas. Karakter – karakter yang terbentuk pun lebih dapat dibaca dengan jelas seperti ; Daerah pusat revitalisasi, High-density pengembangan, Campuran pengembangan penggunaan, Layanan dan fasilitas: rumah sakit, taman, sekolah, waktu luang dan menyenangkan. Kota kompak lebih memiliki efisiensi yang lebih baik karena beberapa kepentingan disajikan didalam satu area sehingga mempermudah untuk menjangkau nya. Intensifikasi lahan yang diterapkan melalui bentuk mixed use membuat semakin kondusif nya pembangunan yang dilakukan. Konservasi terhadap lingkungan sumber daya alam dan habitat serta pencegahan bencanapun semakin membuat lingkungan terjaga, salah satunya adalah penanaman pohon yang melakukan konservasi terhadap lingkungan dan habitat. Bentuk revitalisasi yaitu meremajakan kembali hal – hal yang sudah dianggap tidak layak untuk digunakan lagi, misalnya revitalisasi taman kota dan sebagainya.


HIGH DENSITY IN THE COMPACT CITY


Salah satu karakter dari kota kompak adalah kepadatan yang tinggi, kepadatan tinggi dalam sebuah kota menjadi momok yang mampu merubah wajah kota secara mendasar dan radikal. Kepadatan merupakan faktor ‘x’ yang dapat mengendalikan perkembangan kota secara keberlanjutan dan berkesinambungan. Faktor ini biasanya ditandai dengan bentuk – bentuk pembangunan yang semakin menumbuhi kawasan kota baik secara sprawl ataupun terbentuk secara organizes. kota Kompak dapat disebut “A system of cities in driving growth” yaitu sebuah sistem kota dalam mengendarai pertumbuhan kota itu sendiri, kota kompak mempunyai kepadatan yang tinggi dan cenderung mampu melakukan rekayasa terhadap kepadatan kota Sehingga kepadatan dapat di pecahkan dalam bentuk yang khas dan mampu mengorganisasikan bentuk – bentuk kepadatan sedemikian rupa.


Kepadatan menjadi attribute utama dalam kota kompak karena dasar dari pengembangan kota kompak salah satunya adalah ketidakmampuan kota dalam mengatasi kepadatan yang semakin menumbuhi secara radikal dan sprawl di dalam kota. Bentuk dan kepadatan kota dapat menjadi implikasi terhadap kebrlanjutan kota untuk masa depan. Kapadatan mampu merubah dan menggeserkan beberapa paradigma positif menjadi negative, serta sebaliknya. Hal inilah yang patut dicermati secara kondisional, bentuk kepadatan yang positif seperti yang diterapkan pada kota kompak adalah kemampuan kota kompak untuk menorganisasikan kepadatan itu sendiri menjadi sesuatu yang lebih baik dan tersusun. Bentuk nyata yang terbentuk adalah kemampuan untuk menerapkan beberapa fungsi mixed use dalam satu area sehingga jangkauannya semakin dekat dan aksesnya semakin mudah.


Beberapa isu yang mengenai kepadatan ataupun density pada compact city adalah kemungkinan high-density yang begitu tinggi tak mampu lagi dikendalikan oleh kota kompak sehingga menjadi sebuah boomerang bagi compact city itu sendiri. Serta Kemampuan kota kompak dalam mempertahankan density 24/7 dalam suatu area menjadi sorotan karena kehidupan kota sendiri memiliki ketergantungan terhadap place and time.







contoh kota sprawl di Kota Kinabula


Foto diatas merupakan ilustrasi dari bentukan kota sprawl dan compact city yang pada segi visual dapat terlihat dengan jelas perbedaannya baik secara bentuk, fungsi, hirarki, struktur hingga pola yang terbentuk dari dua kota tersebut. Kota kompak cenderung mengoorganisir beberapa tempat menjadi berfungsi mixed use yang lebih efisien dan intens. Sedangkan kota sprawl cenderung membangun secara radikal.


Perkembangan kota kompak mampu berkembang begitu pesat dan dapat menjaga keberlanjutanya menjadi jawaban terhadap isu – isu tentang high density pada compact city. Hal ini dapat dilihat pada Negara – Negara yang telah menerapkan kota kompak sebagai pilihan dalam tantangan keberlanjutan kota.








Korean city sebagai kota kompak


Isu yang telah menjadi wacana untuk kemampuan kota kompak dalam mengorganisir kepadatan apabila telah mencapai pada puncak kepadatan, adalah keberlanjutan kota ini membentuk siklus dasar sehingga kembali membentuk compact city yang memulai dari area kecil sehingga membentuk sedemikian rupa sehingga membentuk sebuah kota kompak secara organizes. Hal ini merupakan program dasar dari kota kompak dalam menghadapi kebrlanjutan kota, bebarapa indicator yang digunakan adalah high density, growth pattern dan lain – lain. Dari beberapa indicator tersebut kota kompak membentuk sebuah siklus keberlanjutan yang mampu mengintegrasikan beberapa aspek seperti sosial, ekonomi dan lingkungan.


Kepadatan yang tinggi dapat membentuk pola pikir efisiensi waktu, pembentukan konsentrasi kegiatan yang mempunyai kesamaan. Terbentuknya kawasan mixed use lebih dikarenakan kepadatan yang tinggi sehingga kebutuhan akan area mixed use lebih terakomodir dengan baik dalam keadaan density yang begitu tinggi. Beberapa hal yang mampu membentuk pola yang lebih baik dan lebih jelas apabila terbentuk secara structural dan mandiri. Bentuk – bentuk mixed use sebagai implikasi dari efisiensi waktu yang menjadi inti dari pembuatan kota kompak secara integral dan berkelanjutan. Kota kompak mampu mengakomodir beberapa kebutuhan sektoral seperti ekonomi dan jasa menjadi lebih tersusun secra khas dan membentuk klaster yang lebih memudahkan dan lebih menguntungkan tetapi lebih kompetitif. Kemampuan inilah yang dibutuhkan oleh sebuah kota dalam mendorong pemerataan sosial dan ekonomi, kebutuhan – kebutuhan terhadap kemampuan kota memanagement basis sektoral dapat di aplikasikan secara integral dan sustainable sehingga membentuk ekonomi yang kuat dari dalam serta mampu bersaing pada sekala yang lebih luas.


Kota seoul adalah ibukota dari Negara Republik Korea atau yang lebih dikenal dengan sebutan Korea Selatan. Kota ini telah berumur 600 tahun, dan kota ini pernah menjadi ibukota seluruh Korea sampai pada tahun 1945, sebelum menjadi ibukota Korea Selatan pada tahun 1948.



peta korea


Kota seoul terkenal dengan sinar ekonomi asia timur karena dianggap symbol keajaiban ekonomi korea. Kota seoul mempunyai luas 605.52 km², dan mempunyai kepadatan 17.288/km², yang merupakan salah satu kota yang kepadatan tergolong terpadat. Pada grafik dibawah ini terlihat seoul merupakan kepadatan tertinggi.


Grafik batang disamping berdasarkan statistik dari sebuah situs web yang berafiliasi dengan Korea Research Institute for Human Settlements menunjukkan bahwa kepadatan penduduk Seoul adalah tertinggi di antara kota-kota terbesar dari negara-negara OECD. Dari atas ke bawah, di bawah Seoul, London, Tokyo-Yokohama, Berlin, Paris, Roma, Toronto, Sidney, New York, dan Luxembourg








Kota seoul merupakan kota yang menggantungkan harapannya pada ekonomi dan bisnis, dengan kepadatan yang begitu padat kota seoul harus dapat membentuk perannya sebagai kota bisnis yang kuat dalam ekonomi. Terapan yang terbentuk dari kota kompak adalah kepadatan yang terjadi pada kota ini mampu di organisasikan menjadi implementasi dari kota kompak yang menekankan pada aspek efesiensi waktu, intensifikasi lahan, konservasi lahan dan revitalisasi kota.


Kota kompak yang dibangun seoul adalah sebagai respon terhadap kebutuhan ekonomi yang menekankan pada aspek efisiensi waktu dan intensifikasi lahan, yang pada hakikatnya mampu membentuk siklus secara berkelanjutan. Dan menunjukan bentuk kota kompak dengan kepadatan yang tinggi serta kemampuan kota tersebut mengelolanya. Kepadatan yang diakibatkan jumlah penduduk yang berimbas pada pembangunan yang sprawl dapat diminimalisir dengan pembangunan – pembangunan seoul yang lebih mengutamakan mixed use dan berbentuk super block. Kegiatan – kegiatan yang dapat disatukan sehingga intensifikasi lahan dapat diterapkan dengan baik guna mendorong keefisiensian waktu yang digunakan untuk mengakses ataupun menjangkaunya.





kendaraan di seoul


Seoul mempunyai jumlah kendaraan yang mencapai angka satu juta unit, sehingga terjadi kemacetan sampai tengah malam, dari segi transportasi hal ini terlihat buruk tetapi dari segi aktifitas kota terlihat kota ini hidup selama 24/7 sehingga keefisienan kota ini terus digunakan. Penduduk yang padat merupakan salah satu penentu wajah dan citra kota, sehingga keberhasilan dari sebuah kota dalam memanagement kepadtan meruapakan faktor penting keberhasilan kota ini berkembang.


Kota seoul adalah implementasi dari kota kompak, sehingga masalah konsumsi energy menjadi isu yang sangat penting dikota ini, konsumsi energi yang dapat dihemat adalah dengan penggunaan mixed use dan mampu memenuhi kebutuhan energy secara menyeluruh. Tetapi hal yang masih diperhatikan adalah konsumsi pemakaian kendaraan yang masih sangat besar sehingga compact city belum dapat diterapkan secara menyeluruh. Faktor transportasi inilah yang masih belum dapat dipecahkan oleh kota seoul, padahal untuk kenadaraan umum sendiri seoul telah memiliki kereta api listrik, subway, dan kereta api express. Kendala yang utama adalah jumlah sarana transportasi publik yang masih kurang mengingat kepadatan kota ini sangat luar biasa, maka dari itu diperlukan perubahan dalam system transportasi secara masal.






Penerapan High Density Compact City yang Dapat Dilakukan di Indonesia


Indonesia memiliki banyak kota dengan berbagai konsep bentukan kota. Sebagai salah satu Negara yang mempunyai penduduk terbanyak di Dunia, Indonesia tentu memiliki kota yang padat dan cenderung sulit untuk mengontrol dan memanegementnya. Kota yang padat dengan konsep yang kurang jelas yang sering kita lihat di Indonesia, sehingga terlihat perkembangan kota di Indonesia tidak mampu sustainable atau berkelenjutan seperti yang diinginkan selama ini.


Indonesia yang masih tergolongkan Negara bagian III atau Negara berkembang, membuat perkembangan sangat penting sebagai moda untuk kita melompat kepada Negara maju. Beberapa hal yang dapat diterapkan dari kota kompak ( compact city ) di Indonesia meliputi high – density, high density ini cenderung menekankan pada konsep mixed use yang mengefisiensikan waktu dan mengintensifikasikan lahan.


JAKARTA HIGH DENSITY


Profil


Jakarta adalah ibukota Negara Republik Indonesia, Jakarta merupakan kota terpadat di Indonesia dengan luas 661,52 km2 dengan penduduk berjumlah 9.588.198 jiwa (2010) memiliki kepadatan penduduk 12.951,8/km². Jakarta satu-satunya kota yang setara dengan provinsi di Indonesia, hal ini merupakan keistimewaannya sebagai ibukota Negara.





Dengan kepadatan yang tinggi, kota Jakarta menjadi kota yang besar tetapi juga sempit akibat kepadatannya yang cenderung padat sehingga untuk sekala kota maka diperlukan perbaikan dalam mengelola kepadatan yang tinggi menjadi hal yang berharga dan mampu untuk membuat kota ini berkembang secara sustainable.


Perbaikan yang pertama dalam mengatasi kepadatan tinggi atau high density adalah membentuk tempat – tempat mixed use sehingga kegiatan – kegiatan yang memiliki kesamaan dapat diakomodasi secara bersama. Selanjutnya dilakukan pengintensifan lahan seperti membuat super block atau apartment yang mampu menampung penduduk dengan jumlah besar sehingga mengurangi kepadatan dan lahan yang lain dapat digunakan dengan kefisienan yang lebih baik.









Pengelolaan bangunan tinggi juga harus diperhatikan karena terlihat secara view Jakarta tidak memakai konsep yang baik. Pembentukan super block ataupun apartment seharusnya memiliki aturan ataupun kaidah yang mengatur secara umum maupun secara detail kota ini. Keberlanjutan kota Jakarta ini sangat dipengaruhi oleh konsep yang dibuat pada awal pembangunanya, suatu bentuk kompak tidaklah mengindikasikan kekakuan dan tidak fleksibel. Tetapi kota kompak cenderung menata secara structural dan efisien serta iniintens.






KESIMPULAN.


Kota kompak merupakan kota yang sederhana dan mengehemat energy, bentuk kota kompak sulit diaplikasikan secara menyeluruh, tetapi dapat di adopsi secara bagian kecil. Di Indonesia sendiri pengadobsianya tidak mampu secara penuh, mengingat Indonesia belum menjadi Negara maju seperti korea. Tetapi ada beberapa perangkat dari compact city yang bisa di adobsikan secara perlahan sperti high density yang telah diterapkan di kota seoul Korea Selatan.

Sumber
http://muhamad-arifudin.blogspot.co.id/2011/06/kota-kompak.html







Kamis, 24 Desember 2015

TEORI URBAN DESIGN

TEORI KEVIN LYNCH


Kevin Lynch Andrew (1918 Chicago, Illinois - 1984 Vineyard Martha, Massachusetts) adalah seorang perencana perkotaan Amerika dan penulis.Lynch perencana perkotaan paling terkenal, pada gambar kota diterbitkan pada tahun 1960, adalah hasil dari penelitian lima tahun ketika melihat dan mengatur informasi spasial karena mereka menavigasi melalui kota-kota. Menggunakan tiga kota yang berbeda sebagai contoh (Boston, Jersey City, dan Los Angeles), Lynch melaporkan bahwa pengguna memahami lingkungan mereka dengan cara yang konsisten dan dapat diprediksi, membentuk peta mental dengan lima elemen:

1. PATHS (Jalur,Jalan)
2. NODES (SIMPUL)

3. DISTRICK (DISTRIK)

4. LANDMARKS (TENGARAN)

5. EDGES (TEPIAN)

 Contoh dari teori ini yang diterapkan di Indonesia ada 3 yaitu di Surabaya, Malang, dan Banten Lama. Tetapi, di daerah Banten Lama sudah menjadi kenangan karena sudah banyak bangunan yang tinggal kenangan atau vosil. Maka dari itu yang akan Admin paparkan hanya Surabaya (Pakuwon City) dan Malang.

1. PATHS (Jalur,Jalan)
Pada gambar menunjukan dimana jalur pada Pakuwon City Surabaya. Jalur-jalur yang ada menghubungkan setiap fasilitas bangunan secara continue antara yang satu dengan yang lain, hal ini karena jalan tersebut menggunakan sistem jalan cluster, sehingga dari jalan primer akan menghubungkan pada tiap-tiap hunian yang berada pada jalan sekunder maupun jalan tersier.
Pada garis berwarna biru menunjukkan jalan primer, yaitu Jalan Kejawan Putih Tambak, yang dimulai dari open gate kawasan Pakuwon City sampai dengan komplek hunian Palm Beach. Sementara garis yang berwarna merah muda menunjukkan jalan sekunder dalam kawasan, garis tersebut menghubungkan area hypermarket menuju kompleks Sandiego dan Sanantonio. Jalan tersier yang terlihat pada garis warna kuning merupakan jalan ke setiap kompleks perumahan yang berada dikawasan Laguna.
kota malang

Umumnya jalur atau lorong berbentuk pedestrian dan jalan raya
Jalur merupakan penghubung dan jalur sirkulasi manusia serta kendaraan dari sebuah ruang ke ruang lain di dalam kota. Atau dengan kata lain, paths adalah suatu garis penghubung yang memungkinkan orang bergerak dengan mudah. Paths berupa jalur, jalur pejalan kaki, kanal, rel kereta api, dan yang lainnya.
contoh:   
Hasil gambar untuk jalan ahmad yani kota malang yang menghubungkan dengan surabaya


Jl. Ahmad yani dikategorikan sebagai path, karena merupakan sebuah jalur akses utama yang menghubungkan pusat kota dengan daerah utara (Kota Surabaya). Path pada koridor ini juga berupa jalur hijau, karena merupakan jalur dari tanaman yang terdapat hampir di sepanjang koridor jalan. Jalur hijau ini memiliki tujuan, yaitu sebagai tanaman peneduh pada koridor.

2. NODES (SIMPUL)
Kawasan Pakuwon City memiliki beberapa nodes pada tiap-tiap sudut jalannya. Setiap nodesyang dimiliki merupakan titik pusat dari bertemunya beberapa cabang jalan, sehingga nodesyang ada dalam Pakuwon City bersifat radial (memusat). Selain sebagai nodes, titik simpul tersebut juga difungsikan sebagai area terbuka dari kawasan yang dilengkapi dengan street furniture.
Keberadaan nodes telah ada pada bagian depan dekat dengan open gate kawasan Pakuwon City. Nodes tersebut memiliki ukuran skala yang cukup besar, dengan dilengkapistreet furniture berupa beberapa tanaman yang ditata dengan baik dan indah, serta terdapat bentukan seperti gapura yang dimana bentuk serta warnanya menjadi identitas bagi tiap perumahan dalam kawasan ini. Tidak jauh dari open gate tersebut, terdapat sebuah nodesyang bernama Egrang State, simpul ini terletak dekat dengan Pakuwon Town Square. Sementara nodes yang berada dalam area hunian perumahan berada pada area Palm Beach dan area SanDiego. Untuk area Palm Beach, yang merupakan salah satu komplek perumahan yang menganut desain tropis ini memiliki nodes yang terletak pada bagian depan komplek hunian tersebut. Sedangkan nodes menuju SanDiego berada pada lokasi belakang Pakuwon Town Squre. Nodes disini sangat diperuntungkan, karena selain menjadi petunjuk jalan dapat pula sebagai suatu landmark pada kompleks kawasan Pakuwon City.


Kota Malang

Simpul merupakan pertemuan antara beberapa jalan/lorong yang ada di kota, sehingga membentuk suatu ruang tersendiri. Masing-masing simpul memiliki ciri yang berbeda, baik bentukan ruangnya maupun pola aktivitas umum yang terjadi.
Biasanya bangunan yang berada pada simpul tersebut sering dirancang secara khusus untuk memberikan citra tertentu atau identitas ruang.

Nodes merupakan suatu pusat kegiatan fungsional dimana disini terjadi suatu pusat inti / core region dimana penduduk dalam memenuhi kebutuhan hidup semuanya bertumpu di nodes. Nodes ini juga juga melayani penduduk di sekitar wilayahnya atau daerah hiterlandnya.
Atau dengan kata lain nodes dalah berupa titik dimana orang memiliki pilihan untuk memasuki districts yang berbeda. Sebuah titik konsentrasi dimana transportasi memecah, paths menyebar dan tempat mengumpulnya karakter fisik.

contoh:
pasar dinoyo
       
Hasil gambar untuk pasar dinoyo                    
Hasil gambar untuk pasar dinoyo

    Plaza Malang
Hasil gambar untuk plaza malang                        Hasil gambar untuk plaza malang                

3. DISTRICK (DISTRIK)
Distict atau kawasan pada Pakuwon City banyak ditemui, dikarenakan pada tiap jalan yang ada memiliki kawasan dengan fungsi bangunan yang kompleks. Seperti halnya untuk kawasan perdagangan yang banyak diletakkan pada depan jalan primer, yaitu terdapat FoodFestival, Pakuwon Town Square, ruko, kantor pengelola, ballroom, dan pom bensin. Tetapi pada kompleks sandiego juga masih terdapat ruko yang letaknya berada pada jalan sekunder dari kawasan ini. Kawasan pendidikan juga terdapat pada kawasan Pakuwon City, yang letaknya berada pada jalan sekunder dan juga ada yang terletak pada jalan tersier.


Kota Malang
Suatu daerah yang memiliki ciri-ciri yang hampir sama dan memberikan citra yang sama. Distrik yang ada dipusat kota berupa daerah komersial yang didominasi oleh kegiatan ekonomi. Daerah pusat kegiatan yang dinamis, hidup tetapi gejala spesialisasinya semakin ketara. Daerah ini masih merupakan tempat utama dari perdagangan, hiburan-hiburan dan lapangan pekerjaan. Hal ini ditunjang oleh adanya sentralisasi sistem transportasi dan sebagian penduduk kota masih tingal pada bagian dalam kota-kotanya (innersections). 

Proses perubahan yang cepat terjadi pada daerah ini sangat sering sekali mengancam keberadaan bangunan-bangunan tua yang bernilai historis tinggi. Pada daerah-daerah yang berbatasan dengan distrik masih banyak tempat yang agak longgar dan banyak digunakan untuk kegiatan ekonomi antara lain pasar lokal, daerah-daerah pertokoan untuk golongan ekonomi rendah dan sebagian lain digunakan untuk tempat tinggal.
Districts hanya bisa dirasakan ketika orang memasukinya, atau bisa dirasakan dari luar apabila memiliki kesan visual. Artinya districts bisa dikenali karena adanya suatu karakteristik kegiatan dalam suatu wilayah.

contoh:
lokasi: blimbing, Malang

     Hasil gambar untuk blimbing, Malang          Hasil gambar untuk blimbing, Malang  
     

 di daerah blimbing terdapat banyak bangunan yang banyak digunakan sebagai pasar yaitu pasar blimbing dan lapangan kerja serta bangunan lainnya.


4. LANDMARKS (TENGARAN)
Elemen eksternal merupakan bentuk  visual yang menonjol dari kota. Di Pakuwon city banyak sekali landmark sebagai tengaran. Landmark adalah elemen penting dari bentuk kota karena membantu orang untuk mengenali suatu daerah. Pada beberapa bagian jalan kawasan Pakuwon City memiliki landmark yang menjadi satu dengan simpul, ukuran skala yang dimiliki oleh landmark tersebut cukup besar dan memiliki bentuk yang menarik perhatian. Ukuran skala pada tiap-tiap landmark tersebut sangat sesuai dengan lebar jalan dalam komplek kawasan ini.
Selain berada dalam sebuah simpul, landmark di sini juga ada yang difungsikan pula menjadi suatu open gate pada komplek hunian Palm Beach. Konsep yang ditampilkan dalamlandmark ini menyesuaikan akan kondisi lingkungan sekitar dalam kawasan, karena letak komplek Palm Beach yang terdekat dengan pantai, maka bentukan serta elemen pendukungnya telah mencerminkan suasana dari kondisi pantai. Sehingga, open gate tersebut selain berfungsi sebagai sebuah landmark tetapi juga dapat berfungsi sebagai sebuah identitas terhadap komplek hunian Palm Beach.


Kota Malang

Tengaran merupakan salah satu unsur yang turut memperkaya ruang kota.
Bangunan yang memberikan citra tertentu, sehingga mudah dikenal dan diingat dan dapat juga memberikan orientasi bagi orang dan kendaraan untuk bersirkulasi.
Landmarks merupakan ciri khas terhadap suatu wilayah sehingga mudah dalam mengenal orientasi daerah tersebut oleh pengunjung. Landmarks merupakan citra suatu kota dimana memberikan suatu kesan terhadap kota tersebut. Landmark adalah titik pedoman obyek fisik. Berupa fisik natural yaitu gunung, bukit dan fisik buatan seperti menara, gedung, sculpture, kubah dan lain-lain sehingga orang bisa dengan mudah mengorientasikan diri di dalam suatu kota atau kawasan.
contoh:

Hasil gambar untuk gambar kota bunga di jalan ijen


landmark Kota Malangsebagai kota bunga

lokasi landmark ini di jalan Ijen Kota malang
         Hasil gambar untuk landmark Kota Malang di jalan semeru             



 landmark Kota Malang di jalan semeru

   
Hasil gambar untuk kota malang sebagai kota pendidikan           Hasil gambar untuk kota malang sebagai kota pendidikan
landmark Malang sebagai Kota Pelajar.
 merupakan suatu kota tujuan pendidikan bagi daerah di sekitar Kota Malang
 maupun di luar Kota Malang
 
Hasil gambar untuk gambar candi di malang
 landmark Malang sebagai Kota budaya
dimana Kota Malang, sangat berkaitan erat dengan sejarah serta asal-usul Kota Malang dari jaman dulu yang tetap dipertahankan hingga sekarang. 


5. EDGES (TEPIAN)
Edge berada pada batas antara dua kawasan tertentu dan berfungsi sebagai pemutus linier. Dalam kawasan Pakuwon City,  terdapat empat tepian yaitu pada awal masuk gerbang Pakuwon City, pantai Laguna, edge sebelah utara yaitu kecamatan Kalisari, dan edge yang terletak pada sebelah selatan yaitu kecamatan Sukolilo. Keempat tepian ini merupakan batas dari kawasan yang dimiliki oleh Pakuwon City. Diantara keempat tepian yang ada, terdapat satu tepian yang dijadikan sebagai konsep dari kawasan ini, tepian tersebut ialah pantai Laguna. Tepian ini menjadi bagian edge yang utama, dikarenakan edge tersebut menjadi suatu identitas kawasan dan lingkungan sekitar kawasan yang ditawarkan.
Sementara itu, edge yang terletak pada open gate kawasan Pakuwon City merupakan area Jalan ITS Raya, yang dimana jalan tersebut akan terhubung dengan komplek kampus ITS.Edge sebelah utara yang merupakan kecamatan Kalisari, kecamatan tersebut memiliki fungsi lahan sebagai area pemukiman. Pada bagian utara ini, kawasan Pakuwon City juga berdekatan dengan area pantai Kenjeran, sehingga dapat dikatakan bahwa pada bagian utara Pakuwon City terdapat dua edge yang dimiliki. Dan untuk edge yang berada pada bagian selatan, yaitu dibatasi oleh sebuah pemukiman dalam kecamatan Sukolilo, dengan jalan penghubungnya adalah Jalan Keputih.


Kota Malang

Bentukan massa-massa bangunan yang membentuk dan membatasi suatu ruang di dalam kota. Ruang yang terbentuk tergantung kepada kepejalan dan ketinggian massa. Daerah perbatasan biasanya terdiri dari lahan tidak terbangun. Kalau dilihat dari fisik kota semakin jauh dari kota maka ketinggian bangunan semakin rendah dan semakin rendah sewa tanah karena nilai lahannya rendah (derajat aksesibilitas lebih rendah), mempunyai kepadatan yang lebih rendah, namun biaya transpotasinya lebih mahal.atau edges adalah elemen yang berupa jalur memanjang tetapi tidak berupa paths yang merupakan batas antara 2 jenis fase kegiatan. Edges berupa dinding, pantai hutan kota, dan lain-lain.
contoh:

        


sungai metro merupakan salah satu contoh edge. karena sungai metro menjadi batas antara beberapa kecamatan, salah satunya antara kec. Sukun dengan kec. Bandulan.

KESIMPULAN|
Teori kevin lynch atau urban desain tidak hanya terkenal di kalangan Planologi tetapi di bidang arsitektur juga. Pada zaman dulu teori ini telah dipakai di Indonesia contohnya di Kota Banten Lama. Tapi awalnya diterapkan di 
Boston, Jersey City, dan Los Angeles.


Sumber