Pusat dan Pinggiran
Salah
satu persoalan yang timbul dari penggunaan konsep ‘pusat’ dan
‘pinggiran’, adalah masalah relasi kedua konsep tersebut. Di sini juga
terjadi kontradiksi dimana ibukota menyedot surplus ekonomi
daerah-daerah dan menggunakannya untuk kepentingan pembangunan ekonomi ibu kota itu sendiri. Muncullah ungkapan pembangunan keterbelakangan.
Model
pinggiran pusat-pinggiran ini juga telah diterapkan di bidang-bidang
lain, mulai dari bidang politik hingga bidang kebudayaan. Beberapa
ilmuwan politik yang salah satunya, Stein Rokkan, menawarkan tentang
tipologi tentang berbagai hubungan yang mungkin antara pusat territorial
dan daerah pinggiran. Keindahan intelektual dari analisis, dalam arti
dua konsep yang bertentangan namun saling melengkapi memang sangat
menggoda.
Penggunaan
konsep-konsep tersebut tentu mendorong adanya upaya untuk mencari gugus
penyelidikan sejarah yang bermanfaat namun relative terabaikan.
Sejarawan terbiasa mengkaji proses sentralisasi (pemusatan), tetapi
mereka hampir tidak pernah mau menyelidiki proses peminggiran. Masalah
lain muncul dari kenyataan bahwa sejumlah analisis, missal analisis
Rokkan, menyiratkan adanya pandangan tentang masyarakat yang menekankan
pada keseimbangan, sedangkan analisis Wallerstein lebih menekankan pada
konflik.
Dengan
adanya konsep pusat-pinggiran, maka muncul “Kontrol social” yang
artinya konsep tradisional sosiologi yang menggambarkan tentang
kekuasaan yang diterapkan masyarakat atas individu-individu melalui
hokum, pendidikan, agama dan lain-lain. Terhadap analisis ini mungkin
ada baiknya memperkenalkan dua konsep, yaitu kekerasan simbolis dan
negosiasi. Konsep kekerasan simbolis merujuk kepada pemberlakuan budaya
kelas penguasa atas kelompok yang dikuasai. Negosiasi sejak mulanya dan
secara harfiah untuk menganalisis tawar-menawar bayaran antara pengacara
dank lien, telah diadaptasi secara luas untuk proses imbal beri antara
dokter dan pasien atau antara pihak elite dan kelompok yang diperintah.
Penentangan
(resistensi) sehari-hari berubah menjadi perlawanan terbuka atau
semacam gerakan sosial. Gerakan-gerakan ini pada dasarnya berubah-ubah
dan informal sifatnya dan bercirikan komunitas. Gerakan sosial juga
terbagi menjadi dua tipe gerakan sosial, yakni apakah gerakan itu pada
dasarnya untuk memulai suatu proses perubahan atau gerakan tersebut
merupakan reaksi atas perubahan yang sedang terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar